Ulang tahun ke 17, atau sweet seventeen istilah kerennya di
kalangan remaja. Konon katanya (penulis tidak yakin akan hal ini) pada
saat inilah seorang remaja beranjak menjadi dewasa dan mandiri. Maka
untuk merayakan hal itu dibuatlah perayaan khusus untuk melepas sang
anak. Menurut yang lain, saat itulah seseorang mengalami akil-balik,
menurut tradisi orang barat. Ok, alasan itu memang masih dalam skala
kewarasan, tapi permasalahannya adalah setelah itu mau ke mana?
Banyak pesta sweet seventeen dilaksanakan dengan sangat meriah
terutama bila keadaan finansial memungkinkan; mengundang banyak teman,
menggunakan tempat yang luas dan megah, mengundang bintang tamu kalau
perlu, dan sebagainya. Bahkan ada pesta yang mampu menyaingi pesta
pernikahan! Dalam pesta tersebut biasanya ada harapan dari orangtua.
Harapan agar anaknya bisa sukses dalam hidup selanjutnya, banyak rejeki,
dan mandiri. Yah harapan-harapan itu sangat wajar dilantunkan oleh
orangtua. Sebuah hal yang bagus memang.
Namun ada hal yang aneh. Bukannya sweet seventeen adalah
jenjang menuju kedewasaan? Kok yang terjadi biasanya adalah ajang
pemanjaan bagi sang anak? Salah satu remaja mengadakan pesta sweet seventeen
dengan mengundang hampir semua teman seangkatanya ke pesta yang
bertempat di sebuah hotel berbintang dan sebagainya lagi. Aneh kan?
Sementara ia harus sudah mandiri, ia masih menggunakan uang dari
orangtuanya untuk pesta yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Memang
keadaan finansialnya mendukung, tapi tetap saja itu duit orangtuanya,
bukan duitnya.
Masih pertanyaan lagi, setelah itu mau ke mana? Setelah
bertujuhbelas tahun, mau ke mana dia? Masih numpang di rumah orang tua?
Kuliah agar sukses? Langsung kerja? Yang terjadi kebanyakan di Indonesia
adalah yang pertama. Setelah dia tujuh belas tahun, ia masih numpang
tinggal di rumah orangtuanya. Masih mengandalkan uang jajan, makan, dan
segala keperluan hidup yang lagi-lagi dari orangtuanya. Sweet seventeen menjadi
kehilangan makna, kehilangan isi dan inti. Seakan pesta besar-besaran
yang diselenggarakan hanya sebagai angin lalu tanpa ada tindak lanjut
yang mengarah pada kedewasaan dan kemandirian. Kosong.
Mungkin juga ini sama dengan pesta wisuda. Apaka sang sarjana baru
bisa mendapat pekerjaan? Bila setelah itu tidak mencari kerja dan
menjadi pengangguran abadi ya, percuma saja wisuda itu. Setelah
bergembira, toh akhirnya hanya pegang map dan berjalan kesana-kemari
sambil mencari harapan untuk dapat bekerja, ironis bukan?
Yah, penulis sebenarnya belum bertujuhbelas tahun, jadi bila anda menganggap bahwa tulisan penulis kali ini non-sense tidak mengapa.
sumber : http://fanderlart.wordpress.com/2008/03/21/arti-17-tahun-setelah-itu-mau-ke-mana/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar